Makalah Identitas Suku Bugis
BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG
Suku Bugis terkenal
dengan suku perantau yang tersebar ke beberapa wilayah di Indonesia. Suku Bugis
atau to 'Ugi merupakan suku asli di tanah Sulawesi khususnya di Sulawesi
Selatan. Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan
martabat. Suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang mengakibatkan
turunnya harga diri atau martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga
melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh.
Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga
yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu
dan tentunya melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh
masyarakat Bugis kebanyakan. Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih
diingat dan dipatuhi.
2.
RUMUSAN
MASALAH
1. Suku
bugis
2. Adat
suku bugis
3. Rumah
adat suku bugis
4. Pakaian
adat suku bugis
5. Kesenian
adat suku bugis
6. Peninggalan
suku bugis
7. Makanan
khas suku bugis
3.
TUJUAN
DAN MANFAAT MAKALAH
Tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas Kewarganegaraan dan
memberikan informasi kepada pembaca. Manfaatnya adalah dapat mengetahui
identitas suku Bugis dan dapat mengenali suku Bugis.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
SUKU
BUGIS
Bugis
adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke
Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan.
Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang
Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang
terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika
rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka.
Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi.
La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu,
ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan
melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar
di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna
Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I
La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam
tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di
Sulawesi seperti Buton.
2.
ADAT
SUKU BUGIS
Upacara
perkawinan dalam suku Bugis disebut Mappabotting sementara itu istilah
perkawinan dalam suku bugis disebut siala yang mempunyai arti saling mengambil
satu sama lain. Perkawinan adalah ikatan timbal balik antara dua manusia
berlainan jenis kelamin untuk menjalin sebuah hubungan kekeluargaan. Istilah
perkawinan dalam suku Bugis juga bisa disebut mabinne berarti menanam benih,
maksudnya menanam benih dalam kehidupan rumah tangga.
3.
RUMAH
ADAT SUKU BUGIS
Rumah
bugis memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari
suku yang lain (Sumatera dan Kalimantan). Bentuknya biasanya memanjang ke
belakang, dengan tambahan disamping bangunan utama dan bagian depan (orang
bugis menyebutnya lego-lego). Tiang utama (alliri). Biasanya terdiri dari 4
batang setiap barisnya. Jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat.
Tetapi pada umumnya, terdiri dari 3/4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang
alliri. Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di
setiap barisnya. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling
atas dari alliri paling tengah tiap barisnya. Mengapa orang bugis suka dengan
arsitektur rumah yang memiliki kolong ? Konon, orang bugis, jauh sebelum Islam
masuk ke tanah bugis (tana ugi’), orang bugis memiliki kepercayaan bahwa alam
semesta ini terdiri atas 3 bagian, bagian atas (botting langi), bagian tengah
(alang tengnga) dan bagian bawah (paratiwi). Mungkin itulah yang mengilhami
orang bugis (terutama yang tinggal di kampong).
4.
PAKAIAN
ADAT SUKU BUGIS
Baju
Bodo adalah pakaian adat suku Bugis dan diperkirakan sebagai salah satu busana
tertua di dunia. Perkiraan itu didukung oleh sejarah kain Muslim yang menjadi
bahan dasar baju bodo. Jenis kain yang dikenal dengan sebutan kain Muslin
(Eropa), Maisolos (Yunani Kuno), Masalia (India Timur), atau Ruhm (Arab)
pertama kali diperdagangkan di kota Dhaka, Bangladesh. Hal ini merujuk pada
catatan seorang pedagang Arab bernama Sulaiman pada abad ke-19. Sementara pada
tahun 1298, dalam buku yang berjudul “The Travel of Marco Polo”, Marco Polo
menggambarkan kalau kain Muslim dibuat di Mosul (Irak) dan diperdagangkan oleh
pedagang yang disebut Musolini.
Namun
kain yang ditenun dari pilinan kapas yang dijalin dengan benang katun ini sudah
lebih dahulu dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan, yakni pada pertengahan
abad ke-9, jauh sebelum masyarakat Eropa yang baru mengenalnya pada abad ke-17,
dan populer di Perancis pada abad ke-18. Kain Muslim memiliki rongga-rongga dan
jarak benang-benangnya yang renggang membuatnya terlihat transparan dan cocok
dipakai di daerah tropis dan daerah-daerah yang beriklim panas.
Sesuai
dengan namanya “bodo” yang berarti pendek, baju ini memang berlengan pendek.
Dahulu Baju Bodo dipakai tanpa baju dalaman sehingga memperlihatkan payudara
dan lekuk-lekuk dada pemakainya, dan dipadukan dengan sehelai sarung yang
menutupi bagian pinggang ke bawah badan. Namun seiring dengan masuknya pengaruh
Islam di daerah ini, baju yang tadinya memperlihatkan aurat pun mengalami
perubahan. Busana transparan ini kemudian dipasangkan dengan baju dalaman
berwarna sama, namun lebih terang. Sedangkan busana bagian bawahnya berupa
sarung sutera berwarna senada.
5.
KESENIAN
SUKU BUGIS
Kesenian
dari suku Bugis yang terkenal adalah Tari Paduppa Bosara. Tari Padupa Bosara
merupakan sebuah tarian yang mengambarkan bahwa orang bugis kedatangan atau
dapat dikatakan sebagai tari selamat datang dari Suku Bugis. Orang Bugis jika
kedatangan tamu senantisa menghidangkan bosara sebagai tanda kehormatan.
6.
PENINGGALAN
SUKU BUGIS
Bissu
adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Bissu dalam kebudayaan Bugis adalah
manusia hermafrodit yang mana secara anatomis adalah laki-laki namun dalam
berbusana merupakan kombinasi antara karakteristik laki-laki dan perempuan.
Seorang bissu dapat membawa Badik (pisau khas Bugis) yang milik laki-laki,
namun mengenakan bunga di kepalanya yang bermodel rambut perempuan. Dalam
kebudayaan Bugis, dikenal 4 gender plus gender kelima yaitu ‘para-gender’.
Selain laki-laki-pria (oroane) dan perempuan-wanita (makunrai) dikenal pula
calalai, secara biologis perempuan namun berperan dan berfungsi sebagai
laki-laki. Lalu ada calabai, secara biologis laki-laki namun berperan dan berfungsi
sebagai perempuan. Gender kelima yaitu bissu, yang telah dijelaskan sebelumnya.
7.
MAKANAN
KHAS SUKU BUGIS
Salah
satu makanan khas dari suku Bugis ialah Buras atau biasa disebut juga burasa.
Buras sebenarnya tidak jauh berbeda juga dengan olahan berbahan dasar beras
lainnya, seperti halnya Ketupat. Apa lagi, Ketupat sudah menjadi tradisi juga
yang harus disajikan saat hajatan khusus keluarga dan hari-hari besar keagamaan
tiba. Bahkan, memakan Ketupat juga wajib dengan campuran kari ayam, daging, dan
telur. Akan tetapi, rasa Buras yang sangat berbeda dengan Ketupat. Karena Buras
dimasak khusus dengan campuran santan. Makanya saat Buras dicicipi berasa gurih
dan aromanya yang begitu khas. Buras sendiri, oleh sejumlah orang-orang Suku
Bugis memakannya dengan beberapa campuran makanan lainnya. Seperti kari ayam,
daging, dan telur. Tiga campuran makanan ini harus wajib disediakan menemani
Buras saat hajatan keluarga digelar.
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Identitas
warga negara sebagai suku bugis dapat diketaui dengan melihat dari berbadai
adat sukunya, diantaranya cara berbicaranya, pakaian adat sukunya, rumah adat
sukunya, keseniannyanya, dan makanan khas.
Komentar
Posting Komentar